GONTOR – Hingga saat ini, Kementerian Agama memiliki 80 Satuan Pendidikan Mu`adalah yang tersebar di seluruh nusantara. Dari 80 satuan pendidikan ini, setidaknya terdapat 6.369.382 peserta didik yang sedang menikmati layanannya.
Kendati kran pendirian pendidikan mu`adalah dibuka seluas-luasnya, namun tidak semua pondok pesantren dapat melaksanakannya. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah pesantren calon penyelenggara mu`adalah. Salah satunya adalah jumlah minimum santri pertahun sebanyak 300 orang selama 10 tahun berturut-turut.
Persyaratan minimum ini menjadi keluhan dari beberapa pesantren calon penyelenggara mu`adalah. Tetapi Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD-Pontren), Ahmad Zayadi menjelaskan bahwa persyaratan ini tetap dibutuhkan untuk menjaga kualitas standar pendidikan mu`adalah.
“Secara filosofis jumlah minimal ini untuk menjaga kualitas pendidikan mu`adalah agar sesuai dengan standar mutu mu`adalah yang sudah lama berjalan,” ujar Direktur PD-Pontren dalam acara Silaturrahim Forum Komunikasi Pesantren Mu`adalah (FKPM) di Pesantren Modern Darussalan Gontor, Minggu (01/04).
Lebih lanjut ditegaskan bahwa mu`adalah sebenarnya satuan pendidikan tertua di Indonesia yang keberlangsungannya harus dijaga oleh pemerintah.
“Sebenarnya model pendidikan ini sudah eksis di pesantren sejak Indonesia belum merdeka. Hanya saja negara terlambat memberi pengakuan kepada model pendidikan ini. Padahah jumlah lulusan mu`adalah sudah terbukti turut berperan untuk pembangunan negara,” tegas Zayadi.
Dalam hal ini, tugas utama Kementerian Agama adalah memberi ruang gerak pengembangan pendidikan mu`adalah, baik pada aspek akademiknya maupun perangkat administasinya.
“Ada yang harus dipenuhi untuk kemajuan mu`adalah, yaitu aspek akademis dan perangkat administratifnya. Kita juga bisa menentukan status formal ala mu`adalah, bukan ala madrasah, PDF, bahkan sekolah. Karena mu`adalah adalah bagian dari satuan pendidikan, maka perangkatnya perlu dirumuskan bersama, misal keharusan NISN, standar asatidz dan sarana, akreditasi BSNP, dan sebagainya,” papar Ahmad Zayadi.
Lulusan UPI ini sangat optimis jika melalui kegiatan Silaturrahim Forum Komunikasi Pesantren Mu`adalah (FKPM) akan berimbas pada silatul afkar (sambung pikir) dan berujung pada silatul amal (saling berperan/action). Semuanya bisa dicurahkan untuk peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM sehingga Pendidikan Mu`adalah benar-benar menjadi pendidikan formal ala mu`adalah, bukan seperti pendidikan lainnya. (rfq/dod)